Jumat, 02 Maret 2012

Aku Bukan Psy-trapper



“Eh, anak – anak bilang kamu itu psy-trapper lho!”
Pipit berbisik pada Mian suatu siang setelah mereka menyaksikan pemampangan nilai salah satu mata ujian mereka.
Mian jelas tak bisa menerima pernyataan tersebut.
“Aku ...?” tanyanya kaget.
“Iya, kamu itu setiap selesai ujian bilangnya gak bisa, susah lah atau apa lah tapi ternyata nilai – nilaimu bagus semua.”
“Tapi itu kan baru nilai AKM sama cost aja. Nilai lainnya belum tahu,” Mian tetap sewot dan tak bisa menerima.
“Ya... jangan marah sama aku dong, Mi. Aku kan cuma menyampaikan apa yang teman – teman kelas kita pikirkan tentang kamu. Kalau kamu nggak merasa sebagai psy-trapper ya dibuktikan. Jangan marah ke aku!”
***
Mian tak habis pikir, ia bisa disebut sebagai psy-trapper karena sebatas apa yang dia ungkapkan di akun pribadinya setelah menjalani ujian. Apakah salah menuliskan sesuatu yang bisa meringankan sedikit beban hati di akun pribadi yang dia miliki sendiri? Apakah ada yang melarangnya melakukan hal tersebut.
Tidak!
Tak ada yang bisa melarangnya berbuat seperti itu. Terlebih, teman – teman sekelasnya. Mereka juga seharusnya bisa memahami dirinya yang harus menuliskan semua itu demi meredam kegalauan hatinya sendiri.
Mian bingung apa yang harus dilakukannya sekarang setelah ia tahu akan pandangan teman teman – temannya tentang dirinya. Dia jadi tidak betah berlama – lama di kelas. Dia mau menghilang saja di depan mereka karena cap psy-trapper yang menempel pada dirinya.
“Aku jadi serba salah di kelas sekarang.”
“Masalah psy-trap itu lagi ya?”
“Iya nih, kalau dapat nilai bagus nanti dikira psy-trap lagi. Tapi kalau dapat jelek kan juga bisa – bisa aku ter-DO.”
“Ah, nanti juga mereka lupa sendiri, Mi. Masalah seperti ini jangan sampai mengganggu kamu deh. Cuekin aja!”
“Aku udah mencoba untuk mencuekan mereka. Tapi tetap aja perasaanku udah gak enak duluan. Setiap kali aku bertemu dengan mereka, aku jadi kehilangan mood. Lemas di kelas!”
“Wah, gawat itu Mi. Bisa – bisa kamu juga malas masuk kelas. Kalau absenmu bermasalah bisa jadi gak dapat ikut ujian dong.” Mita panik sekaligus prihatin dengan nasib sahabatnya.
“Iya aku tahu itu, Mit. Jadinya aku tetap berusaha masuk kelas.”
“Sabar ya... Badai pasti berlalu kok.”
***
Mian ingat pertama kali mereka digemparkan dengan isu psy-trap. Kasak – kusuk itu bermula dari dunia maya saja. Banyak yang memperbincangkan perkara tersebut dari satu lapak ke lapak lain yang ia ikuti. Namun dia sendiri malas berurusan dengan hal semacam itu. Ia tidak ikut menimbrungi apa yang teman – temannya ungkapkan di dunia maya. Ia juga tidak berpendapat apa pun tentang psy-trap itu sendiri.
“Mungkin ini salah aku juga. Mereka kan gak tahu perasaan orang – orang yang dikira psy-trapper sepertiku.”
Ia menyalakan komputer, masuk ke akun pribadinya dan mulai mengetikkan berbaris – baris kata di sana.
“Hal  yang paling penting, aku merasa bukan sebagai pelaku psy-trap tersebut. Jadi aku harus berani memberitahu mereka kalau aku bukan lah orang semacam itu.”
Ia langsung menuliskan apa yang ingin ia katakan kepada semua orang yang memandangnya sebagai pelaku psy-trapper. Ia tak mampu mengatakannya secara lisan jadi melalui media tulisan inilah ia ungkapkan apa yang ia rasakan.
Selama ini meski ia sering berkicau tentang kepesimisannya akan hasil ujian, ia sama sekali tak berniat bahwa teman – temannya yang lain akan merasakan kepesimisan yang sama. Setelah ia telaah kembali mungkin alasannya menuliskan kecemasannya itu karena ia butuh dukungan dari teman – temannya agar bisa kembali optimis untuk menghadapi ujian pada hari esoknya.
Ia juga tak pernah menuliskan kalimat semacam ajakan untuk bersantai ria selama ujian. Ia hanya mengatakan bahwa ia tak yakin akan suksesnya ujian yang telah dijalaninya. Meskipun ternyata setelah mereka menyaksikan sendiri hasil ujiannya, ia mendapatkan nilai yang lumayan memuaskan. Dan itu semua adalah sebuah anugerah yang tak disangka – sangka oleh dirinya sendiri.
Ia heran mengapa teman – temannya harus menyimpulkan bahwa yang demikian itu adalah bagian dari upaya psy-trap. Kenapa tak berpikir bahwa setiap orang itu mempunyai standar yang berbeda – beda dalam menyikapi apa yang telah mereka lakukan. Misal, bila Mian merasa ia tak sukses dalam ujian yang telah ditempuhnya, mungkin kriteria kesuksesan menurut Mian  itu berbeda dari yang lainnya. Mungkin sukses menurut Mian adalah berhasil mengerjakan seluruh soal ujian dan hasil yang diperolehnya minimal A. Tapi ternyata setelah menempuh ujian tersebut, ia merasa tidak bisa meraih nilai A itu. Dan ketika pengumuman nilai tiba, ternyata nilainya hampir A.
Setelah tulisan itu rampung, ia langsung mempublikasikannya. Ia tak tahu apa yang akan diungkapkan teman – temannya nanti, setelah mereka membaca tulisannya ini. Ia hanya ingin mereka memahami bahwa ia bukan lah seorang psy-trapper dan tak pernah sekali pun berusahan untuk melakukan usaha – usaha psy-trap itu. (desy)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar