“Eh, anak – anak bilang kamu itu psy-trapper
lho!”
Pipit berbisik pada Mian suatu siang
setelah mereka menyaksikan pemampangan nilai salah satu mata ujian mereka.
Mian jelas tak bisa menerima pernyataan
tersebut.
“Aku ...?” tanyanya kaget.
“Iya, kamu itu setiap selesai ujian
bilangnya gak bisa, susah lah atau apa lah tapi ternyata nilai – nilaimu
bagus semua.”
“Tapi itu kan baru nilai AKM sama cost aja.
Nilai lainnya belum tahu,” Mian tetap sewot dan tak bisa menerima.
“Ya... jangan marah sama aku dong, Mi.
Aku kan cuma menyampaikan apa yang teman – teman kelas kita pikirkan
tentang kamu. Kalau kamu nggak merasa sebagai psy-trapper ya
dibuktikan. Jangan marah ke aku!”
***
Mian tak habis pikir, ia bisa disebut
sebagai psy-trapper karena sebatas apa yang dia ungkapkan di akun
pribadinya setelah menjalani ujian. Apakah salah menuliskan sesuatu yang bisa
meringankan sedikit beban hati di akun pribadi yang dia miliki sendiri? Apakah
ada yang melarangnya melakukan hal tersebut.
Tidak!
Tak ada yang bisa melarangnya berbuat
seperti itu. Terlebih, teman – teman sekelasnya. Mereka juga seharusnya bisa
memahami dirinya yang harus menuliskan semua itu demi meredam kegalauan hatinya
sendiri.
Mian bingung apa yang harus dilakukannya
sekarang setelah ia tahu akan pandangan teman teman – temannya tentang dirinya.
Dia jadi tidak betah berlama – lama di kelas. Dia mau menghilang saja di depan
mereka karena cap psy-trapper yang menempel pada dirinya.
“Aku jadi serba salah di kelas sekarang.”
“Masalah psy-trap itu lagi ya?”
“Iya nih, kalau dapat nilai bagus nanti
dikira psy-trap lagi. Tapi kalau dapat jelek kan juga bisa – bisa aku
ter-DO.”
“Ah, nanti juga mereka lupa sendiri, Mi. Masalah
seperti ini jangan sampai mengganggu kamu deh. Cuekin aja!”
“Aku udah mencoba untuk mencuekan
mereka. Tapi tetap aja perasaanku udah gak enak duluan.
Setiap kali aku bertemu dengan mereka, aku jadi kehilangan mood. Lemas
di kelas!”
“Wah, gawat itu Mi. Bisa – bisa kamu juga
malas masuk kelas. Kalau absenmu bermasalah bisa jadi gak dapat ikut
ujian dong.” Mita panik sekaligus prihatin dengan nasib sahabatnya.
“Iya aku tahu itu, Mit. Jadinya aku tetap berusaha
masuk kelas.”
“Sabar ya... Badai pasti berlalu kok.”
***
Mian ingat pertama kali mereka digemparkan
dengan isu psy-trap. Kasak – kusuk itu bermula dari dunia maya saja.
Banyak yang memperbincangkan perkara tersebut dari satu lapak ke lapak lain
yang ia ikuti. Namun dia sendiri malas berurusan dengan hal semacam itu. Ia
tidak ikut menimbrungi apa yang teman – temannya ungkapkan di dunia maya. Ia
juga tidak berpendapat apa pun tentang psy-trap itu sendiri.
“Mungkin ini salah aku juga. Mereka kan gak
tahu perasaan orang – orang yang dikira psy-trapper sepertiku.”
Ia menyalakan komputer, masuk ke akun
pribadinya dan mulai mengetikkan berbaris – baris kata di sana.
“Hal yang paling penting, aku merasa bukan sebagai
pelaku psy-trap tersebut. Jadi aku harus berani memberitahu mereka kalau
aku bukan lah orang semacam itu.”
Ia langsung menuliskan apa yang ingin ia
katakan kepada semua orang yang memandangnya sebagai pelaku psy-trapper.
Ia tak mampu mengatakannya secara lisan jadi melalui media tulisan inilah ia
ungkapkan apa yang ia rasakan.
Selama ini meski ia sering berkicau tentang
kepesimisannya akan hasil ujian, ia sama sekali tak berniat bahwa teman –
temannya yang lain akan merasakan kepesimisan yang sama. Setelah ia telaah
kembali mungkin alasannya menuliskan kecemasannya itu karena ia butuh dukungan
dari teman – temannya agar bisa kembali optimis untuk menghadapi ujian pada hari
esoknya.
Ia juga tak pernah menuliskan kalimat
semacam ajakan untuk bersantai ria selama ujian. Ia hanya mengatakan bahwa ia
tak yakin akan suksesnya ujian yang telah dijalaninya. Meskipun ternyata
setelah mereka menyaksikan sendiri hasil ujiannya, ia mendapatkan nilai yang
lumayan memuaskan. Dan itu semua adalah sebuah anugerah yang tak disangka –
sangka oleh dirinya sendiri.
Ia heran mengapa teman – temannya harus
menyimpulkan bahwa yang demikian itu adalah bagian dari upaya psy-trap.
Kenapa tak berpikir bahwa setiap orang itu mempunyai standar yang berbeda –
beda dalam menyikapi apa yang telah mereka lakukan. Misal, bila Mian merasa ia
tak sukses dalam ujian yang telah ditempuhnya, mungkin kriteria kesuksesan
menurut Mian itu berbeda dari yang lainnya.
Mungkin sukses menurut Mian adalah berhasil mengerjakan seluruh soal ujian dan
hasil yang diperolehnya minimal A. Tapi ternyata setelah menempuh ujian
tersebut, ia merasa tidak bisa meraih nilai A itu. Dan ketika pengumuman nilai
tiba, ternyata nilainya hampir A.
Setelah tulisan itu rampung, ia langsung
mempublikasikannya. Ia tak tahu apa yang akan diungkapkan teman – temannya
nanti, setelah mereka membaca tulisannya ini. Ia hanya ingin mereka memahami
bahwa ia bukan lah seorang psy-trapper dan tak pernah sekali pun
berusahan untuk melakukan usaha – usaha psy-trap itu. (desy)